Dalam setiap organisasi, baik skala kecil maupun besar, pasti akan tiba masanya dihadapkan pada keputusan untuk melaksanakan suatu kegiatan di tengah keterbatasan sumber daya yang ada. Entah karena tekanan waktu, ekspektasi pemimpin, tuntutan administratif, atau sekadar gengsi organisasi, kegiatan yang seharusnya bisa menjadi ajang prestasi justru menjadi ajang kegagalan karena dipaksakan berjalan tanpa persiapan matang.
Fenomena ini bukan hal baru. Bahkan dalam dunia pemerintahan, pendidikan, sosial, maupun bisnis, sering kali terlihat bahwa kegiatan yang dipaksakan tanpa memperhitungkan kapasitas dan kapabilitas justru menimbulkan dampak negatif yang lebih besar daripada manfaat yang diharapkan.
“Ridha manusia adalah tujuan yang takkan pernah tercapai, sedangkan ridha Allah adalah tujuan yang tak boleh ditinggalkan.”
Kehancuran yang Dimulai dari Ketidakjujuran Melihat Realita
Banyak pemimpin dan pengambil keputusan terjebak dalam euforia program kerja dan semangat mewujudkan visi misi tanpa memperhatikan realitas. Ketika sebuah kegiatan dipaksakan dengan sumber daya yang minim—baik anggaran, personel, fasilitas, maupun dukungan teknis—maka besar kemungkinan kegiatan tersebut hanya akan menjadi formalitas belaka.
Kegiatan yang dirancang tanpa kesiapan cenderung menghasilkan hasil yang jauh dari target. Bahkan lebih dari itu, bukan hanya tujuan yang gagal dicapai, tetapi juga menimbulkan kerugian yang kadang tak kasat mata: kelelahan anggota, menurunnya moral tim, kerusakan citra organisasi, bahkan potensi konflik internal. Ini adalah bentuk kehancuran yang perlahan tapi nyata.
Lebih celakanya lagi, dalam beberapa kasus, ada kecenderungan untuk menutupi kegagalan tersebut dengan pencitraan atau laporan manis. Ini menciptakan siklus kebohongan yang pada akhirnya memperburuk budaya organisasi. Seperti dikatakan oleh pakar manajemen Peter Drucker, “Culture eats strategy for breakfast”—sebaik apa pun strategi, jika budaya organisasi rapuh, hasilnya tak akan sesuai harapan.
Sumber Daya: Fondasi Utama Kegiatan yang Berhasil
Setiap kegiatan idealnya ditopang oleh tiga pilar utama: perencanaan yang matang, ketersediaan sumber daya, dan manajemen risiko. Tanpa salah satunya, kegiatan tersebut ibarat bangunan yang didirikan di atas pasir.
Sumber daya bukan hanya soal anggaran, tetapi juga kompetensi SDM, waktu, informasi, dan dukungan moral. Memaksakan kegiatan dengan dalih "yang penting terlaksana" tanpa mempertimbangkan apakah sumber daya mencukupi adalah sikap gegabah yang dapat merusak kepercayaan publik maupun internal.
Sebuah studi dari Project Management Institute (PMI) menunjukkan bahwa 39% proyek gagal mencapai tujuan karena perencanaan dan pengelolaan sumber daya yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan sumber daya bukan perkara sepele, melainkan menjadi kunci sukses sebuah kegiatan.
Belajar dari Kegagalan Besar: Kisah Pelajaran
Kita bisa belajar dari tragedi peluncuran pesawat ulang-alik Challenger pada 28 Januari 1986. Tekanan politik dan sosial memaksa NASA untuk tetap melaksanakan peluncuran meskipun para insinyur telah memperingatkan adanya cacat teknis. Akibatnya, tujuh astronot kehilangan nyawa. Ini menjadi salah satu pelajaran paling pahit bahwa memaksakan keputusan dalam kondisi tidak ideal berpotensi menghancurkan bukan hanya rencana, tetapi juga kehidupan.
Meski tidak semua kegiatan yang dipaksakan berujung tragis seperti kasus Challenger, namun dalam skala yang lebih kecil, konsekuensinya tetap merusak dan merugikan. Kegiatan pendidikan yang dipaksakan tanpa metode dan sumber daya bisa menciptakan generasi yang apatis. Kegiatan sosial yang dipaksakan bisa menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga. Kegiatan bisnis yang dipaksakan bisa menghancurkan reputasi dan membawa kerugian finansial.
Solusi: Bijak dalam Mengambil Keputusan
Kedua, penting untuk selalu melakukan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) sebelum menetapkan pelaksanaan kegiatan. Ini akan membantu menakar kesiapan dengan lebih rasional.
Ketiga, selalu utamakan komunikasi terbuka dan transparan. Jika ada kekurangan sumber daya, sampaikan dengan jujur kepada seluruh pemangku kepentingan. Sikap terbuka akan jauh lebih terhormat dibandingkan hasil buruk yang kemudian ditutup-tutupi.
Penutup
Pada akhirnya, memaksakan sebuah kegiatan tanpa kesiapan hanya akan memperbesar risiko kegagalan. Membangun budaya organisasi yang berani mengakui keterbatasan dan bersedia menunda hingga benar-benar siap adalah langkah bijak yang mencerminkan kedewasaan manajemen. Jangan sampai ambisi sesaat menghancurkan fondasi yang telah dibangun bertahun-tahun.
Referensi:
-
Kerzner, H. (2017). Project Management: A Systems Approach to Planning, Scheduling, and Controlling. Wiley.
-
PMI (Project Management Institute). (2017). A Guide to the Project Management Body of Knowledge (PMBOK® Guide)—Sixth Edition.
-
Vaughan, D. (1996). The Challenger Launch Decision: Risky Technology, Culture, and Deviance at NASA. University of Chicago Press.
-
Drucker, P. F. (1994). The Practice of Management. Harper Business.